BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dewasa ini, ada kecenderungan dalam
masyarakat untuk menuntut profesionalisme dalam bekerja. Sedemikian luas kecenderungan
ini, sehingga timbul kesan istilah ini digunakan serampangan tanpa jelas
konsepnya. Tidak jarang seseorang dengan mudah mengatakan bahwa yang penting
profesional. Tetapi ketika ditanyakan tentang apa yang dimaksud dengan
profesional, ia tidak dapat memberikan jawaban yang jelas.
Kata
profesionalisme rupanya bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui
sebagai suatu profesi, melainkan hampir pada semua pekerjaan. Dalam bahasa
awam, segala pekerjaan (vocation) kemudian disebut sebagai profesi. Dalam
bahasa awam pula, seseorang disebut profesional jika kerjanya baik, cekatan,
dan hasilnya memuaskan.
Etika
profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang khususnya bidang pendidikan
keguruan. Kode etik sangat dibutuhkan dalam bidang keguruan karena kode etik tersebut dapat menentukan
apa yang baik dan yang tidak baik serta apakah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh guru itu dapat dikatakan bertanggung jawab atau tidak. Pada jaman sekarang
banyak sekali orang yang berprofesi sebagai guru menyalahgunakan profesinya untuk merugikan
orang lain, contohnya guru yang tak mampu menyalurkan informasi-informasi yang
berisikan pengetahuan kepada peserta didik yang berdampak pada menurunnya minat
peserta didik untuk mengikuti KBM. Contoh seperti itu, harus segera diluruskan.
Agar nantinya, profesi guru akan berjalan sesuai kode etik seorang guru yang
semestinya sesuai undang-undang yang berlaku.
.
B.Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
1. Bagaimana perkembangan profesi ?
2. Apa itu AD/ART ABKIN ?
3. Apa pengertian, fungsi, dasar, dan
tujuan kode etik profesi
4. Apa usaha ABKIN dalam
mengembangkan profesi
C.Tujuan
1.
Dari perumusaan masalah diatas maka, makalah ini memiliki beberapa tujuan
yakni :
2. Untuk mengetahui perkembangan
profesi
3. Untuk memahami AD/ART ABKIN
4. Untuk mengetahui pengertian,
fungsi, dasar, dan tujuan kode etik profesi
5. Untuk mengetahui usaha ABKIN dalam
mengembangkan profesi
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah dan Perkembangan Profesi Konselor di Indonesia
Pada awal tahun 1960-an, LPTK-LPTK
di Indonesia sudah mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga akademik yang akan
membina program studi yang menyiapkan para konselor. Jurusan tersebut dinamakan
Jurusan Pendidikan dan Penyuluhan. Terdapat 2 program jenjang studi yaitu
jenjang Sarjana Muda dengan masa belajar selama 3 tahun dan jenjang Sarjana
dengan masa belajar 5 tahun.
Tahun 1962, para pejabat pendidikan
Indonesia melakukan peninjauan ke Amerika Serikat kemudian terkesan dengan layanan
bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh sekolah-sekolah disana. Sehingga
ketika para pejabat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kembali ke tanah air,
mereka mengintruksikan agar dibentuknya layanan dan bimbingan penyuluhan
(sekarang layanan dan bimbingan konseling) di sekolah menengah. Intruksi yang
diberikan diikuti penetapan kriteria seorang konselor yang tidak jelas,
disertai beragam tugas yang melebar. Semisal seorang konselor bertugas seolah
sebagai “polisi sekolah”, bahkan hingga mengkonversi hasil ujian untuk seluruh
siswa di suatu sekolah menjadi suatu skor standar.
Pada tahun 1970, kedua jenjang
pendidikan pada dekade tahun 1960-an dilebur menjadi S-1 dengan masa belajar 4
tahun. Di tahun yang sama mulai ada para lulusan program Sarjana (lama) di
bidang Bimbingan dan Konseling, juga beberapa tenaga akademik LPTK lulusan
perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke tanah air.
Tercantum dalam kurikulum tahun
1975, layanan Bimbingan dan Konseling menjadi salah satu dari wilayah layanan
dalam sistem persekolahan yang dimulai dari jenjang SD, SMP dan SMA. Adalah
menjadi pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan Bimbingan
dan Konseling. Bimbingan dan konseling di jenjang SD belum terwujud sesuai
dengan harapan dan belum ada konselor yang diangkat di SD, terkecuali di
sekolah swasta tertentu. Untuk jenjang sekolah menengah diisi oleh konselor
yang seadanya_semisal para SPG yang di phase out mulai akhir tahun
1989_.Sebagian dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK
sebagai dosen Program D-II PGSD, kemudian ditempatkan sebagai guru pembimbing,
umumnya di SMA.
Pada tahun 1976, SMK memperoleh
aturan yang sama, karenanya terjadilah kerja sama dengan Jurusan Bimbingan dan
Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang. Di tahun yang sama, Direktorat
Jendral Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menyelenggarakan pelatihan guna penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjut dari pelatihan
tersebut seolah raib karena pihak sekolah tidak memberikan ruang gerak bagi
alumni pelatihan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke sekolah
masing-masing. Penetapan jurusan yang telah pasti sejak kelas 1 SMK terealisasi
menjadi sedikit terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk melaksanakan
bimbingan karier terhadap para peserta didik (konseli).
17 Desember 1975, di Malang,
didirikan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) yang menghimpun konselor
lulusan Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan para
pendidik konselor yang bertugas di LPTK, juga para konselor dengan beragam
latar belakang pendidikan yang secara fakta di lapangan bertugas sebagai guru
pembimbing.
Ketika ketentuan tentang Akta
Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang ‘Akta Konselor’. Oleh karena
itu, IPBI mencari jalan keluar yang bersifat ad hoc agar para konselor
lulusan program studi Bimbingan dan Konseling dapat diangkat sebagai PNS,
dengan mewajibkan para mahasiswa program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk
mengambil program minor sehingga dapat mengajarkan 1 bidang studi.
Ruang gerak bagi layanan bimbingan
dan konseling mulai terasa sejak diberlakukannya kurikulum tahun 1994. Pada
saat itu telah diwajibkan bagi sekolah di Indonesia untuk ada seorang konselor
dan ruangnya untuk 150 konseli, meskipun realisasi hanya pada jenjang
pendidikan menengah, dan masih banyak sekolah dengan keadaan 1 orang konselor
dengan ruang kecil serta menghandle layanan bimbingan dan konseling
untuk lebih dari 150 orang konseli.
Pada tahun 1987/1988, Ditjen Dikti
melakukan kebijakan untuk menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1
Bimbingan dan Konseling yang berdampak pada jumlah kelulusan yang sangat
terbatas. Kondisi tersebut pun kemudian mengakibatkan semua sekolah menengah
mengalih tugaskan guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable)
untuk mengemban tugas melaksanakan layanan bimbingan dan konseling setelah
sebelumnya dilatih melalui Crash Program, lulusan pelatihan tersebut
disebut Guru Pembimbing.
Pada tahun 2001, di Lampung,
dilaksanakan kongres IPBI dengan salah satu hasil kongres adalah digantinya
nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN).
Tahun 2003, diberlakukan UU nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: ‘Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.’
Di dalam UU nomor 20 tahun 2003
pasal 1 ayat (6), tersebut mengenai jabatan ‘konselor’, namun tidak ditemukan
kelanjutan di dalam pasal-pasal berikutnya. Dalam pasal 39 ayat (2) menyatakan
bahwa: ‘Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama pendidik pada perguruan tinggi.’Walaupun tugas ‘melakukan
pembimbingan’ tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu, namun
jelas tugas tersebut merujuk pada tugas guru, maka secara sepihak tidak dapat
ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor.
Sampai dengan sudah diberlakukannya
PP nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen, tetap tidak ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas
dan Ekspektasi Kinerja Konselor. Maka ABKIN sebagai organisasi profesi mengisi
kevakuman legal ini dengan menyusun Rujukan Dasar bagi berbagai tahap dan/atau
sisi penyelenggaraan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan
formal di tanah air, dimulai dengan penyusunan sebuah naskah akademik yang
dinamakan Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
B.ATURAN DASAR/ ANGGARAN RUMAH TANGGA ABKIN (ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING
INDONESIA)
BAB I
NAMA, WAKTU DAN
KEDUDUKAN
Pasal 1
(1) Organisasi
ini bernama ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA yang disingkat ABKIN,
merupakan perubahan nama dari Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI).
(2) ASOSIASI
BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA didirikan untuk waktu tidak ditentukan
lamanya.
(3) Organisasi
ini berkedudukan di tempat kedudukan (ketua umum) Pengurus Besar
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) berasaskan Pancasila.
Pasal 3
Tujuan
ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA ialah :
(1)
Aktif dalam upaya menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan
dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang pelaksanaan program
yang menjadi garis kebijakan pemerintah.
(2)
Mengembangkan serta memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan profesi
yang bermartabat dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 3
Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia
(3)
Mempertinggi kesadaran, sikap dan kemampuan professional konselor agar
berhasilguna dan berdayaguna dalam menjalankan
tugasnya.
BAB III
SIFAT DAN FUNGSI
Pasal 4
ASOSIASI
BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA bersifat keilmuan,
profesional,
dan mandiri.
Pasal 5
Fungsi
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia yaitu :
(1)
Sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
(2)
Sebagai wadah peran serta profesional bimbingan dan konseling dalam usaha
mensukseskan pembangunan nasional.
(3)
Sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sarana komunikasi sosial timbal
balik antar organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.
BAB IV
KODE ETIK BIMBINGAN DAN
KONSELING
Pasal 6
(1)
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia memiliki dan menegakkan Kode Etik
Bimbingan dan Konseling Indonesia.
(2)
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia tercantum dalam naskah tersendiri
ditetapkan dalam kongres.
BAB V
A T R I B U T
Pasal 7
(1)
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia memiliki atribut organisasi yang
terdiri dari lambang, logo, panji, bendera, mars, dan hymne.
(2)
Bentuk dan isi atribut, serta ketentuan penggunaannya diatur dalam peraturan
tersediri.
BAB VI
KEGIATAN DAN USAHA
Pasal 8
a. Untuk
dapat melaksanakan fungsi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang meliputi:
b. Penelitian
dan pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang bimbingan dan konseling
c. Peningkatan
mutu layanan bimbingan dan konseling
d. Penegakan
kode etik bimbingan dan konseling Indonesia
e. Pendidikan
dan latihan keterampilan profesional
f. Pengembangan
dan pembinaan organisasi
g. Pertemuan
organisasi dan pertemuan-pertemuan ilmiah
h. Publikasi
dan pengabdian masyarakat
i.
Advokasi layanan profesi
(2)
Kegiatan-kegiatan organisasi dituangkan dalam program kerja pengurus
Pasal 9
Untuk
dapat mencapai tujuan organisasi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia
melakukan usaha-usaha, yaitu :
(1) Menyelenggarakan
rencana dan program kerja organisasi yang mencakup isi Pasal 8.
(2) Memperkuat
kedudukan dan pelayanan bimbingan dan konseling pada bidang pendidikan dan
pengembangan kemanusiaan pada umumnya.
(3) Membina
hubungan dengan organisasi profesi dan lembagalembaga lain di dalam negeri
maupun di luar negeri.
BAB VII
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 10
Susunan
organisasi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia meliputi seluruh Wilayah
Republik Indonesia yang terdiri atas : Organisasi Tingkat Nasional, Organisasi
Tingkat Propinsi, dan Organisasi Tingkat Kabupaten/Kota
Pasal 11
Di
tingkat Nasional dibentuk PENGURUS BESAR yang merupakan badan pelaksana
organisasi tertinggi yang meliputi wilayah seluruh Indonesia.
Pasal 12
Di
tingkat Propinsi dibentuk PENGURUS DAERAH yang merupakan badan pelaksana
organisasi tingkat propinsi, yaitu organisasi daerah yang meliputi wilayah
propinsi.
Pasal 13
Di
tingkat Kabupaten/Kota dibentuk PENGURUS CABANG yang merupakan pelaksana
organisasi tingkat cabang, yaitu organisasi cabang yang meliputi wilayah
kabupaten/kota.
Pasal 14
Di
tingkat Nasional dibentuk DEWAN AKREDITASI DAN LISENSI.
BAB VIII
K E A N G G O T A A N
Pasal 16
(1) Anggota Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia terdiri atas:
a.
Anggota
Biasa
b.
Anggota
Luar Biasa
c.
Anggota
Kehormatan
(2) Keanggotaan Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia untuk Anggota Biasa diperoleh melalui keanggotaan aktif
yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan jenis jabatan/pekerjaan.
(3) Hak, kewajiban, dan
syarat-syarat anggota diatur di dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB IX
PERTEMUAN ORGANISASI
Pasal 17
(1) Pertemuan organisasi terdiri
dari :
a.
Kongres
b.
Kongres
Luar Biasa
c.
Konvensi
Nasional
d.
Rapat
Kerja Nasional
e.
Konferensi
Daerah
f.
Rapat
Kerja Daerah
g.
Konferensi
Cabang
h.
Rapat
Kerja Cabang
(2) Tugas dan wewenang pertemuan
organisasi diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
BAB X
KEKAYAAN ORGANISASI
Pasal 18
(1) Kekayaan Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia terdiri atas:
a.
Keuangan
b.
Perlengkapan
(2) Keuangan organisasi diperoleh
melalui iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat dan usaha-usaha lain yang
sah.
(3) Perlengkapan organisasi
diperoleh dari penggunaan dana organisasi dan bantuan pihak lain yang sah dan
tidak mengikat.
BAB XI
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 19
(1) Perubahan Anggaran Dasar Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia adalah wewenang Kongres.
(2) Kongres sebagaimana yang dimaksud
oleh ayat (1) adalah sah apabila dihadiri utusan dari sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) jumlah pengurus Daerah yang telah terbentuk.
(3) Perubahan Anggaran Dasar
adalah sah apabila disetujui oleh 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta yang
hadir dalam Kongres.
BAB XII
PEMBUBARAN ORGANISASI
Pasal 20
(1) Pembubaran organisasi diputuskan
dalam Kongres yang khusus diadakan untuk itu yang dihadiri utusan dari
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Pengurus Daerah yang telah
terbentuk.
(2) Keputusan pembubaran harus disetujui
oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta yang hadir.
(3) Dalam hal organisasi
dibubarkan, maka kekayaan organisasi dapat diserahkan kepada badan/lembaga
sosial.
Bab XIII
P E N U T U P
Pasal 21
(1) Hal-hal yang belum ditetapkan
dalam Anggaran Dasar ini, diatur dalam Anggaran Rumah Tangga, atau
peraturan-peraturan organisasi lainnya.
(2) Anggaran Dasar Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan oleh
Kongres. (DITETAPKAN DI : SURABAYAPADA TANGGAL : 16 APRIL 2005, PENGURUS BESAR
ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA (PB-ABKIN) 2005- 2009)
C.KODE ETIK PROFESI
1.Pengertian Kode Etik Profesi
Kode etik profesi merupakan suatu
tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang
memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola
aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau
pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman
berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya
kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang
tidak profesional
2.Fungsi Kode Etik
Profesi
Kode etik profesi itu
merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional
supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan
fungsi dari kode etik profesi:
a. Kode etik profesi
memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas
yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi
mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
b. Kode etik profesi
merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada
masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga
memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan
sosial).
c. Kode etik profesi
mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika
dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana
profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri
pelaksanaan profesi di lain instansi dan perusahaan.
Dalam lingkup TI, kode
etik profesinya memuat kajian ilmiah mengenai prinsip atau norma-norma dalam
kaitan dengan hubungan antara professional atau developer TI dengan klien,
antara para professional sendiri, antara organisasi profesi serta organisasi profesi
dengan pemerintah. Salah satu bentuk hubungan seorang profesional dengan klien
(pengguna jasa) misalnya pembuatan sebuah program aplikasi.
Seorang profesional
tidak dapat membuat program semaunya, ada beberapa hal yang harus ia perhatikan
seperti untuk apa program tersebut nantinya digunakan oleh kliennya atau user,
ia dapat menjamin keamanan (security) sistem kerja program aplikasi
tersebut dari pihak-pihak yang dapat mengacaukan sistem kerjanya (misalnya:
hacker, cracker, dll). Kode etik profesi Informatikawan merupakan bagian dari
etika profesi.
Jika para profesional
TI melanggar kode etik, mereka dikenakan sanksi moral, sanksisosial, dijauhi,
di-banned dari pekerjaannya, bahkan mungkin dicopot dari jabatannya.
3.Dasar Kode Etik Profesi BK
a.
Pancasila, mengingat profesi bimbingan
dan konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam
rangka ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung jawab.
b.
Tuntutan profesi, yang mengacu pada
kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn norma-norma yang berlaku.
4.Tujuan Kode
Etik Profesi BK
Kode etik profesi BK Indonesia
bertujuan :
a.
Panduan
perilaku berkarakter dan profesional bagi anggota organisasi dalam memberikan
pelayanan BK
b.
Membantu
anggota organisasi dalam membangun kegiatan pelayanan yang profesional
c.
Mendukung
misi organisasi profesi, yaitu ABKIN
d.
Landasan
dan arah menghadapi permasalahan dari dan mengenai diri anggota asosiasi
e.
Melindungi
anggota asosiasi dan sasaran layanan (konseli)
f.
Etika
organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan bagi
anggota organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan BK
kepada konseli.
g.
Wajib
dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
h.
Etika
organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan bagi
anggota organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan BK
kepada konseli.
i.
Wajib
dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
D.USAHA ABKIN MENGEMBANGKAN PROFESI
Usaha yang dilakukan ABKIN dalam
mengembang profesi antara lain :
a.
Menyiapkan
pendidikan profesi konselor.
b.
Menyusun
kompetensi konselor (2001).
c.
Menata
pendidik profesional konselor(2007).
d.
Menyelenggarakan
layanan BK dalam jalur pendidikan formal (2007).
Usaha lanjutan yang dilakukan ABKIN, antara lain :
a. Sertifikasi guru bimbingan dan
konseling.
b. Rancangan permendiknas tentang
pendidikan profesi konselor (2007).
c. Pelantikan lulusan pendidikan profesi
konselor (UNP) dan sertifikasi jalur pendidikan (UNJ).
d. Fasilitasi pengembangan kurikulum
BK/profesi (Kaprodi dan pakar BK serta ABKIN).
e. Pengangkatan guru BK ke Dinas
Pendidikan dan Bupati.
f. Masukan terhadap rancangan pedoman
pelaksanaan tugas guru dan pengawas, khusus tentang BK.
g. Beban kerja / jam kerja dan ratio
guru BK atau konselor.
h. Partisipasi daalam musibah,
khususnya bencana alam.
.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa bimbingan dan
konseling merupakan suatu profesi karena bimbingan dan konseling dapat
memenuhi ciri-ciri atau syarat sebagai profesi yang antara lain yaitu
dilaksanakan oleh petugas yang mempunyai keahlian dan kewenangan,
petugas profesi merupakan lulusan Perguruan Tinggi, merupakan pelayanan
kemasyarakatan, diakui oleh masyarakat dan pemerintah, dalam melaksanakan
kegiatan menggunakan teknik/metode ilmiah, memiliki organisasi profesi,
memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran rumah Tangga (AD/ART), dan memiliki kode
etik profesi. Selain itu pengembangan profesi bimbingan dan konseling ini
meliputi standardisasi untuk kerja professional konselor, standardisasi
penyiapan konselor, akreditasi, stratifikasi dan
lisensi, dan pengembangan
organisasi profesi.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, Edisi III, hal. 897.
Sjafri Sairin. 2013. Membangun
Profesionalisme Muhammadiyah. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga
Profesi [LPTP], hal 37.
Supeno, Hadi. 2001. Potret Guru.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
http:///I:/Welcome to My Blog Let Talk about Guidance
and Counseling....Bimbingan Dan Konseling Sebagai Profesi Syarat, Identitas,
Sifat Dasar, Wawasan, Dan Kredensialisasi.html
http:///I:/Metamorfosa BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI
PROFESI.html
Djumhar
dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Winkel,
W.S,.2005. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan, Edisi Revisi.
Jakarta: Gramedia.
Buku
Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan, Refika Aditama
Djumhar
dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Shertzer,
B. & Stone, S.C. 1976. Fundamental of Gudance. Boston : HMC
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua.
Winkel,
W.S,.2005. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta:
Gramedia
0 komentar:
Posting Komentar